Wednesday, June 10, 2009

Medical Flaw

Bukannya saya mau jadi Ibu Prita yang kedua ya, tapi setelah saya bercerita-cerita dengan teman saya di dalam bus menuju ke tempat saya Live In, saya sadari bahwa kualitas paramedis di Indonesia sama jeleknya dengan pemerintahan Soeharto. Yang kaya yang berkuasa. Kalau tidak ada uang jaminan, jangan harap kita bisa mendapat pelayanan yang pantas dari pihak rumah sakit.
Saya tidak menyebutkan secara spesifik apa rumah sakitnya. Karena hampir semua rumah sakit di Jakarta menurut saya banyak sekali cacatnya. Mereka mengutamakan uang daripada nyawa.
Padahal setau saya rumah sakit sifatnya sosial bukan komersil.
Walaupun hari itu sudah malam dan AC dalam bus saya itu sangat membekukan seluruh badan, tapi saya, Laras, dan Mitha sangat semangat membahas topik ini. Beberapa contoh kasus yang kami bahas yang terjadi pada orang-orang terdekat kami adalah
  1. Kakak kelas kami, Kak Yurike, yang meninggal Maret lalu dikabarkan meninggal karena menerima suntikan untuk mencegah alergi yang malah berakibat ia kehilangan nafasnya. Lalu ia kemudian diberi setruman yang malah mengakibatkan pembuluh darah di otaknya pecah.
  2. Nenek salah satu teman kami dinyatakan mengidap kanker otak lalu harus segera dioperasi secepatnya lalu setelah dibawa ke Singapura untuk berobat ternyata nenek teman kami itu baik-baik saja. Banyak sekali kasus semacam ini, suatu sikap hiperbol yang mendatangkan perasaan tertekan bagi pasien dan keluarganya.
  3. Nenek saya pernah dibedah perutnya untuk diangkat rahimnya. Lalu beberapa bulan kemudian dibedah lagi karena ternyata (katanya) ada benang yang tertinggal di dalam perut nenek saya (???)
  4. Mika, anak dari teman keluarga saya yang sudah keluarga kami anggap seperti saudara. Awalnya ia hanya pusing biasa dan muntah, lalu dalam 2 hari setelah dimasukkan kedalam RS di kawasan Bintaro, Ia dinyatakan kanker otak dan masuk ICU. Dokter bilang ia tidak bisa melakukan operasi dan angkat tangan terhadap anak itu. Mika dinyatakan kritis setelah hari kedua dirawat mendapat infus dan hidup dengan bantuan alat-alat. Lalu hari keempat,setelah dosis obat dan satu persatu alat dilepas, Mika pun pergi selama-lamanya.
Agaknya masih banyak kasus-kasus seperti ini,bahkan mungkin banyak sekali.
Saya benar-benar sedih dengan kondisi seperti ini dimana nyawa seseorang sepertinya bergantung kepada alat dan pihak paramedis. Mereka bisa melakukan apa saja. Mungkin pihak rumah sakit yang benar-benar jujur dan ingin menolong orang yang sakit dapat dihitung dengan jari. Saya bertekad kalau nanti saya bisa hidup dengan penghasilan yang cukup, saya lebih baik tinggal di luar negeri saja,karena jujur saja saya ngeri dengan sistem kedokteran disini.
Tidak berpikirkah mereka bagaimana perasaan keluarga yang ditinggalkan? Bagaimana perasaan keluarga yang dikabarkan kalau orang yang dicintainya mengidap penyakit mematikan? Saya tidak mau hal-hal diatas terjadi kepada orang-orang disekitar saya yang saya sayangi. Tapi nampaknya tidak banyak yang bisa kita lakukan dengan hal ini.
Orang yang menuntut keadilan malah dimasukkan kedalam penjara. Sepertinya, Indonesia masih jauh dari namanya sila "Keadilan sosial bagi rakyat Indonesia".

No comments: